Senin, 03 September 2012
Antara Hati, Ego dan Jakarta
Pagi ini, di angkot, sepanjang perjalanan menuju kantor. Menimbang-nimbang hati sambil memandang pemandangan yang tak manis dari bingkai jendela. Polusi udara dan sesaknya penumpang dengan berbagai latar belakang yang kontras, identitas yang tampak dari pakaian, hal-hal kecil yang mereka kenakan dan gunakan, semakin mewarnai ruang mataku. Tak lama memang aku berada di kendaraan itu, karena jarak kos dan kantor yang cuma menghabiskan 20 menit perjalanan, namun tak menyudahi pikiranku yang terus bergejolak ingin membuka dan mengenang kembali suka duka hidup di kota ini. Jakarta.
November 2009, 3 tahun yang lalu, aku mulai menjalani pilihan hati. Bekerja di kota ini. Berbekal doa dari orang tua, berikut uang secukupnya di kantong, kutapakkan kaki disini. Memenuhi panggilan kerja dari sebuah perusahaan Farmasi, yang saat itu sedang membutuhkan seorang copy writer berikut art desainer. Fresh graduate, apalah yang aku punya selain pengalaman berorganisasi di kampus, "pede aja", membawa aku mantap untuk memulai perjalanan.
Suasana kerja yang tidak terlalu formal (karena aku bergabung dengan tim kreatif) membuatku enjoy disini. Hanya saja, kegundahan kerap terasa, ketika kerinduan akan masakan mama, suasana rumah yang nyaman, melanda. Jakarta, bukan tempat untuk mencari kenyamanan, tapi hanya sebatas mencari nafkah. Pengapnya udara (bahkan disubuh mendung sekalipun), air yang tak pernah jernih (apalagi segar), pemandangan petak-petak rusun, gang-gang senggol bacok, got-got hitam yang dihuni oleh tikus-tikus berukuran besar, semakin memancingku untuk terus bertahan.
Egoku memang sedang dalam puncak-puncaknya, tak mau mengalah dengan keadaan. Kamar kosan pengap berukuran 3x3 meter adalah tempatku pulang sehabis bekerja. Tak ada hiburan di kamar selain radio hp, dan sepasang hamster peliharaanku. Setelah setahun bekerja, aku baru bisa memanjakan diri dengan membeli televisi 14 inch, dvd player dan pindah ke kosan yang lebih layak. Lama juga ya, ini akibat dari kebiasaanku dari dulu, tidak bisa mengatur pengeluaran, apalagi aku, si bungsu, yang memang dijuluki "pusa-pusa ka induak", setiap 2 minggu sekali pulang pergi ke Bandar Lampung, homesick.
Perjalanan inipun diiringi oleh hati, hati rinaiku. antara sesak-sesak ingin mandiri, dan isak-isak ingin berkumpul bersama keluarga. Hati ini memang lagi "lempeng", tak ada beban asmaragama menghalangi, aku cantik, muda, single, dan bahagia, haha. Saat itu hatiku masih diisi, kosong, isi lagi, dengan beragam cerita, namun kadang masih terasa hampa. Mati rasakah? Atau sedang mempersiapkan diri menuju kedewasaan?
Jakartaku, kebiasaan sebagai petualang meringankan langkah menyusuri dan menjelajahi kota ini, mulai dari gemerlap maya yang membutakan, sampai kepiluan air mata menatap kumuhnya. Saatku berada kota ini, hatiku disambungkan dengan sang jodoh, yang membuatku semakin sering pulang pergi Jakarta-Bandar Lampung. Nasib baik meminangku di bulan November 2011. Tepat 2 tahun, hijrah ke Jakartaku.
Sampai pagi ini, pagiku meresah gundah, mengeluhkan ibukota, aku masih bertahan disini, mengandung anakku, terpisah dari suami yang selalu merindu kami disana. Semoga keringat, doa-doa, dan beban hidup yang merisak ini membahagiakan keluarga kecilku, yang kuharap selalu dituntun cahaya terang oleh-Nya, menyatukan kami. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar